Sabtu, 28 Juli 2012

Kasus penjualan GTBO jilid dua

Perkembangan masalah penjualan batubara PT Garda Tujuh Buana Tbk (GTBO) seperti yang udah saya bahas di tulisan saya sebelumnya (liat disini : kasus penjualan batubara GTBO) semakin menarik  untuk diikuti perkembangannya. Berita terbaru tentang GTBO adalah tentang pendirian anak perusahannya. GTBO telah mendirikan anak perusahaan di Uni Emirat Arab dengan nama GTB Internasional FZE dengan share sebesar 100%. Pendirian perusahaan ini bertujuan untuk menjual batu bara, bijih logam, dan bahan bakar pada perdagangan internasional dari Timur Tengah. Shael Oswal selaku Direktur Utama GTBO mengatakan, pendirian perusahaan tersebut terdaftar pada pendaftaran 10482 pada 26 Juni 2012 dengan nomor lisensi 9472.

Shael menjelaskan, untuk mendirikan perusahaan baru tersebut perseroan menyetor modal sebesar 25.000 dirham pada 30 Juni 2012. Kantor anak perusahaan terdaftar adalah di E-Lob Kantor No. E88F-14 Zona Bebas Hamriyah –Sharjah, Uni Emirat Arab. Saat ini perseroan telah menandatangani kontrak jual-beli di perdagangan batubara dengan satu agen internasional Timur Tengah sebanyak 10.000.000 MT berjangka waktu 3 tahun. (Cek link disini)

Dengan tambahan data adanya pendirian perusahaan GTBO tadi maka ada beberapa hal yang patut dicermati :

1. Pendirian anak perusahaan pada tanggal 26 Juni 2012 dan adanya penyetoran modal sebesar 25.000 dirham atau equivalen dengan Rp 64,511,698.50 (kecil banget yach...?) pada tanggal 30 Juni  tidak dilaporkan dalam laporan keuangan per 30 Juni 2012. Karena kepemilikannya 100% maka GTBO harus buat Laporan Keuangan Konsolidasian. Naah..ini yang gak ada di LKnya GTBO dengan kata lain GTBO tidak membuat LK Konsolidasian sehingga informasi adanya anak perusahaan tidak keliatan di LK per 30 Juni 2012. Informasi justru muncul dalam pers rilis bukan di LK.

2. Mr Shael bilang kalau kontrak jual beli batubara adalah dengan agen di Timur Tengah, tapi kalau melihat isi perjanjiannya ternyata si agen yg menambang sendiri dan GTBO tidak mengeluarkan biaya produksi sama sekali sehingga pendapatan senilai Rp711,15 milyar spt dicatat di LK per 30 Juni 2012  lebih tepat diperlakukan sebagai pendapatan sewa (liat tulisan saya sebelumnya).

Sewa dikasifikasikan menjadi dua yaitu
1. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan
2. Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset

Jika mengacu kepada isi kontrak yang menyatakan bahwa kepemilikan dan tanggung jawab termasuk semua risiko kewajiban, kerugian, kerusakan atau kahancuran dan lainnya serta tanggung jawab yang muncul akibat dari kepemilikan tersebut  akan menjadi tanggung jawab pembeli  setelah penjual (GTBO) mengalokasikan daerah kepada pembeli, maka sewa yang terjadi dapat digolongkan sebagai sewa pembiayaan (Finance Lease) 

Syarat lain untuk Finance Lease adalah : 1) pada akhir masa sewa, kepemilikan aset dapat dialihkan kepada penyewa dan adanya hak opsi bagi penyewa (Lesee) untuk membeli aktiva yang disewakan. 2) umur sewa adalah mencakup sebagian besar umur ekonomis aktiva yang disewakan 3) pada awal sewa, nilai kini dari pembayaran sewa minimum mendekati nilai wajar dari aset yang disewakan 4) sewa untuk tahun kedua dapat diperpanjang dengan harga sewa yang lebih rendah dari periode ssebelumnya.

Naah...syarat-syarat tadi (No.1 sampai 4) untuk kasus GTBO yang tidak ada karena design awal kontrak adalah jual beli batubara biasa bukan kontrak sewa sehingga untuk dapat memenuhi syarat finance lease harus ada perubahan kontrak.

Kalau tidak dapat dimasukkan sebagai Financial Lease berarti masuk ke sewa biasa (operating lease) dong....!!

Untuk dimasukkan sebagai sewa biasa juga tidak bisa karena syarat operating lease adalah tidak adanya pengalihan kepemilikan sedangkan untuk penjualan GTBO ada pengalihan kepemilikan. Terus bagaimana dong...? hehehehe.......

Untuk menilai transaksi penjualan GTBO tadi kita harus kembali ke prinsip yang ada di akuntansi yaitu "Subtansi mengungguli bentuk" atau "Subtance over Form." Jadi yang diliat adalah subtansi dari transaksi penjualan tadi dan bukan dari bentuk atau legal formalnya. Subtansinya adalah Financial Lease karena ada pengalihan kepemilikan namun legal formalnya yang belum mendukung karena syarat seperti adanya opsi kepemilikan tidak diatur dalam kontrak.


3. Karena tidak adanya keterbukaan yang transparan dari manajemen GTBO dalam LK per 30 Juni 2012 terkait penjualan batubara ke Timur Tengah dan adanya pembentukan anak perusahaan di sana juga, maka kesimpangsiuran lah yang akan terjadi. Bisa saja ada pikiran di benak investor yang ngomong " wah...jangan2 anak perusahaan inilah yang membeli batubara senilai Rp711,15 milyar itu?" pikiran seperti itu sah-saha saja. Kalau yang beli batubara senilai Rp711,15 milyar kemarin ternyata adalah anak prsh ini maka pencatatan penjualannya lebih kacau daripada yg udah pernah saya bahas sebelumnya, karena kalau anak persahaan maka penjualan tadi hrs dieliminasi seluruhnya alias gak boleh diakui di laporan konsolidasian. Penjualan yg diakui hanya yg udah dijual oleh anak prsh utk kemudian digabung dg penjualan induk (GTBO) .Nah..lho....bakal drop deh pencataan penjualannya...hehehe

Inti dari semua itu adalah pentingnya keterbukaan dari emiten dalam memberikan informasi yang relevan dan lengkap pada saat mengurus perusahaannya, sehingga pembaca laporan (Investor, pemegang saham, kreditur dll) tidak salah mengambil keputusan.

Selamat Berinvestasi............


Minggu, 22 Juli 2012

Kasus Penjualan Batubara PT Garda Tujuh Buana Tbk

PT Garda Tujuh Buana Tbk atau lebih dikenal dengan GTBO merupakan salah satu emiten yang bergerak di sektor batubara yang sebelumnya hanya dianggap biasa-biasa saja namun mulai  mengalami kenaikan harga yang terus merangsek naik mulai tanggal 31 Oktober 2011 sampai sekarang. GTBO mulai IPO pada tanggal 9 Juli 2009  dengan harga perdana sebesar Rp115 dan sekarang harga saham GTBO sudah mencapai Rp5.650 atau naik 4.813%. Dan kalau melihat grafik harga hampir tidak ada fluktuasi harga yang ekstrim namun justru menanjak terus secara smooth walaupun dengan PER yang lebih tinggi daripada PER industri sejenis. Beberapa analis mengatakan bahwa harga GTBO saat ini sudah sangat mahal, namun ternyata GTBO tidak memperdulikan apa kata analis, teteup aja harganya terus mencapai new high.

Fenomena GTBO ini memang menarik untuk diikuti. Kinerja keuangan GTBO memang baru menanjak mulai tahun 2011, dari yang sebelumnya equity negatif (defisit) karena akumuliasi rugi sebesar Rp21,52 milyar pada akhir tahun 2010 menjadi positip Rp52,34 milyar pada akhir tahun 2011. Hal tersebut ditunjang dengan pendapatan yang meningkat pesat pada tahun 2011 yang mencapai Rp319,70 milyar dibandingkan tahun 2010 yang hanya mencapai Rp25,64 milyar atau naik 1.146%. Suatu pencapaian yang fantastis.

Laporan Keuangan GTBO semester I tahun 2012 sekilas menampakkan hasil yang semakin fantastis yaitu dengan mencatat penjualan sebesar Rp1.148,05 milyar atau naik sebesar Rp1.112 milyar (2.988%) year on year. Dengan kenaikan penjualan sebesar itu Harga Pokok Penjualan (HPP) yang dikeluarkan HANYA sebesar Rp198,07 milyar atau 17% dari nilai penjualannya. Bandingkan dengan HPP PTBA yang mencapai 50,11% dari nilai penjualan, KKGI (59,10%), ADRO (64,17%), BRAU (66,07%). Sedemikian efisienkah GTBO sehingga mampu menekan biaya-biaya produksinya ????.............

Dalam laporan keuangan GTBO semester I 2012 disebutkan Penjualan dibagi menjadi Penjualan Batubara Lokal sebesar nihil, Penjualan Batubara Ekspor sebesars Rp436,90 milyar dan Penjualan Batubara Lain2 sebesar Rp711,15 milyar.  Yang perlu dicermati adalah penjualan batu bara-lain2 senilai Rp711,5 milyar. Apakah penjualan tsb sudah memenuhi syarat untuk diakui sbg pendapatan?

Setelah mempelajari penjelasan dalam catatan atas laporan keuangan ternyata memang penjualan batu bara tadi agak "menyimpang" dari model penjualan pada umumnya. Kenapa?...... krn  si pembeli batubara yang merupakan orang timur tengah (sebut saja Wan Abud karena tidak dijelaskan oleh GTBO) ternyata dia menggali sendiri tambang milik GTBO, bukan beli persediaan batu bara yg udah digali atau diproses oleh GTBO. Peralatan, proses penggalian, tenaga kerja, pengangkutan ke kapal, reklamasi dan kegiatan terkait penambangan menjadi tanggung jawab Wan Abud. Ini menjawab pertanyaan kenapa harga penjualannya amat sangat murah hanya USD25 dan HPPnya tidak besar krn GTBO tidak menanggung biaya2 tadi. Menurut saya ini adalah cara cerdas yg dilakukan oleh direksi GTBO utk mencari metode penjualan yg lain drpd yg lain. Cuma memang disclose di-LKnya yg kurang jelas. Saya saja sampai baca berkali-kali utk memahaminya. Skrg bagaimana dg pengakuan penjualannya? apakah udah bisa diakui sbg penjualan sesuai PSAK?

Penjualan batubara ke wan abud tadi oleh GTBO dicatat sebagai Penjualan batubara-Lain2 bukan dimasukkan sebagai penjualan ekspor atau penjualan lokal karena memang metode penjualannya berbeda dg penjualan biasa. Menurut PSAK pendapatan dr penjualan barang diakui jika (1).perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli (2).Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual. Balik ke kasus GTBO, krn persediaan yg dijual ke Wan Abud masih dalam bentuk area pertambangan yg akan digali sendiri oleh Wan Abud maka pengalihan risiko dan kepemilikan persediaan beralih dari GTBO ke Wan Abud saat area pertambangannya di serahkan/ditetapkan. Ini beda dengan cara penjualan pd umumnya yaitu beralih saat barangnya dimuat di truk atau pengangkut (misal jika syarat penjualan Free on Bord/FOB), Model penyerahan cara GTBO tadi udah diatur di kontrak antar keduanya ditambah kesepakatan pengalihan risiko beralih setelah ada penerimaan uang oleh penjual. Alasan ini nampaknya yang menjadi alasan GTBO memasukkan penjualan ke Wan Abud sbg “Penjualan” krn dianggap sudah memenuhi syarat pendaptan. Namuun..jika dicermati lebih jauh metode penjualan tadi lebih tepat disamakan dengan GTBO menyewakan tambangnya utk dikelola oleh Wan Abud dengan bisya sewa yg diukur spt jual batubara yaitu senilai USD25 per metrik ton.

Kenapa penjualan GTBO tadi seharusnya diakui sebagai pendapatan sewa karena dia tidak memenuhi prinsip matching cost agains revenue artinya untuk memperoleh suatu pendaptan hrs bisa diukur biaya yg dikeluarkan utk memperoleh pendaptan tadi yaitu biaya2 yg dikeluarkan utk menghasilkan produk batubara tadi. Dalam kasus tadi GTBO tidak mengeluarkan biaya utk memperoleh batubara krn biayanya dikeluarkan oleh Wan Abud..So menurut saya penjualan tadi harusnya diakui sebagai “PENDAPATAN LAIN-LAIN” yang letaknya di Laporan Rugi Laba berada di luar Penjualan.
Wan Abud sudah membayar uang muka kepada GTBO untuk "pembelian" batubara sebesar Rp711,15 milyar untuk jumlah 3 juta metrik ton yang akan ditambang sampai dengan 31 Desember 2014. Dengan pengakuan penerimaan uang muka dari Wan Abud tadi sebagai "Pendapatan Lain2-Sewa Tambang" maka jumlah yg diakui tidak boleh sebesar 100% tapi di split selama masa sewa 36 bulan yaitu sampai dengan 31 Desember 2014. Sewa per bulan Rp711.150.000.000 : 36 bulan = Rp19.754.166.666..jadi kalo yg dicantumin sebagai Pendapatan Lain2 di LK semester I (6 bulan) seharusnya hanya 6 x Rp19.754.166.666 = Rp118.524.999.996,00. Sedangkan sisa uang muka sebesar Rp711.150.000.000,00 - Rp118.524.999.996,00 = Rp592.625.000.000 dicatat sebagai uang muka di neraca. Kesimpulannya penjualannya GTBO kegedean...

Memang bentuk kerjasama antara GTBO dg wan abud tadi masih belum jelas apakah bentuknya kerjasama operasi (KSO), bagi hasil atau sewa masih blm terlalu jelas krn penjelasan di LKnya hanya spt itu, walaupun saya cenderung mengartikan kerjasamanya sbg bentuk sewa. Treatment akuntansinya akan berbeda jika modelnya KSO atau bagi hasil atau bentuk yg lain dan ini yg hrs diperjelas oleh manajemen jangan sampai investor salah mengambil keputusan.

Selain pencatatan penjualan yang tidak tepat, laporan keuangan GTBO semester I 2012 juga tidak mencantumkan pajak penghasilan. GTBO seharusnya sudah bisa menghitung walaupun masih berupa "Taksiran" dan tidak harus menunggu sampai akhir tahun untuk menghitung pajaknya. Laporan keuangan interim (LK triwulan atau LK Semester) bukanlah laporan yang dikecualikan dari penerapan akuntansi pajak penghasilan, oleh sebab itu penyajian laporan keuangan interim juga harus merujuk pada aturan penyajian laporan keuangan. Sehingga kalau ada emiten yg tdk mencantumkan perhitungan pajak penghasilan di LKnya maka dia udah melanggar standar akuntansi...kecuali saya gak mengetahui kalau ternyata ada aturan yg memperbolehkan ya..hehehe. Efek ketidakpatuhan penyajian ini sangat besar pengaruhnya ke pengguna laporan krn itung2annya jadi kacau semua (EPS, PER dan rasio2 keuangan lainnya)..

Kasus GTBO ini seharusnya menjadi peringatan buat otoritas bursa baik BAPEPAM maupun BEI sendiri untuk benar-benar memegang komitmen untuk menjaga kepentingan investor, jangan sampai investor dirugikan karena ketidakpedulian BAPEPAM atau BEI. Kita tunggu apakah ada perbaikan atau kembali adanya pembiaran tentang masalah ini.



Selasa, 10 Juli 2012

Bandar Analisis

Salah satu faktor untuk bisa sukses di bisnis saham adalah memahami analisa baik teknikal maupun fundamental. Tulisan saya sebelumnya udah membahas analisa teknikal menggunakan candlestick (lihat Membaca Alam Pikiran Para Trader Melalui Analisa Teknikal). Sebenarnya masih ada beberapa seri tulisan analisa teknikal yang harus ditulis, tapi ada ide yang muncul duluan di kepala yaitu mengenai bandar analisis..sehingga lanjutan tulisan analisa teknikal nanti menyusul...hehe..

Bandar atau broker yang juga berperan sebagai manajer investasi menjalankan dana yang berasal dari investor yang menyerahkan modalnya untuk dikelola, mempunyai modal besar karena menghimpun dana dalam jumlah besar yang kebanyakan bersumber dari institusi/lembaga seperti dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan-perusahaan yang ingin memutar uangnya di pasar modal selain yang bersumber dari investor ritel. Broker yang beroperasi di pasar modal Indonesia kalo diliat kepemilikannya ada yang asing dan lokal. Bedanya dah ketauan kan..?  kalo broker asing yang punya orang bule atau asia sedangkan kalo yang lokal berarti punya warga negara Indonesia tercinta...

Salah satu cara untuk tetap stay on the market nggak ketinggalan kereta adalah memantau tingkah laku bandar saat mereka trading. Di jaman yang serba canggih ini, maka kita dapat memata-matai gerak-gerik bandar untuk melihat mereka sedang trading saham apa saja, berapa  banyak lot saham tertentu yang udah mereka simpan, berapa harga beli/jual rata-ratanya. Kita dapat memantau pergerakan para bandar ini melalui fasilitas OLT (on line trading). Beberapa sekuritas udah menyediakan fasilitas OLT ini yang memungkinkan kita untuk bertransaksi jual beli saham melalui internet dengan nama sistem yang berbeda-beda seperti :
1. HOTS  milik PT E-Trading Securities,
2. IPOD milik PT Indo Premier Securities,
3. HERO milik PT Kiwoom Securities,
4. Indosuryatrade milik PT Asjaya Indosurya Sekuritas,
5. POEMS milik PT Philips Sekurities Indonesia, dll

Saya akan memberi contoh dengan menggunakan fasilitas yang ada di HOTS. Setelah memasukkan username dan PIN maka akan tampak tampilan awal HOTS. Disitu ada tabs dengan judul "Quote" dan klik menu 0011/Broker Transaction by Stock. Menu ini menampilkan antara lain :
1. Baris pertama berisi nama stock dan periode waktu yang bisa diset sesuai keinginan kita misalnya hari ini saja atau ditarik mundur  sampai beberapa bulan kebelakang,
2. Baris kedua berisi  harga terakhir, perubahan harga dalam rupiah maupun prosentase, volume (lot) dan value (Rp).
3. Baris ketiga berisi nama broker yang pegang saham, informasi buy/sell yang terdiri dari frekuensi transaksi, volume (lot), harga rata2, dan prosentase.

Dari menu Broker Transaction by Stock ini kita akan memperoleh informasi yang bermanfaat buat trading plan kita. Misalnya kita sedang memantau saham PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA). Jika kita set periode waktu untuk tanggal transaksi hari ini saja ( tanggal 10 Juli 2012) maka ketahuan kalo broker PT Deutsche Securities Indonesia dengan kode DB yang merupakan broker asing hari ini akumulasi BUY saham SSIA sebanyak 9.000 lot di harga Rp1.030 tanpa transaksi SELL sama sekali. Urutan kedua ditempati oleh broker PT Kim Eng Securities (Kode ZP) dengan akumulasi BUY sebanyak 5.390 lot dengan harga beli rata-rata sebesar Rp1.037,68 dan SELL sebanyak 145 lot dengan harga jual rata-rata sebesar Rp1.033,10 atau net buy sebanyak 5.245 lot.

Berdasarkan informasi tadi maka kita akan aman jika beli saham SSIA di range harga Rp1.030-Rp1.040, syukur2 bisa dapat dibawah harga pembelian broker tadi. Kita dapat mengeset jangka waktu untuk memperoleh informasi yang lebih akurat misalnya data transaksi selama beberapa hari atau bulan sebelumnya. Informasi tentang gerak-gerik bandar ini akan lebih akurat dengan cara mengkombinasikan dengan analisa teknikal lainnya seperti candlestick, RSI, MACD, Parabolic SAR dll untuk memperoleh sinyal BUY yang aman. Kapan saatnya menjual?...sama seperti saat kita masuk tadi selain sinyal SELL udah muncul maka kita juga bisa melihat pergerakan para bandar tadi yaitu jika hasil pantauan kita ternyata broker DB dan ZP udah mulai buang-buang barang maka kita siap2 untuk menjual.
 
Uraian tadi hanyalah sedikit cara untuk tetap bisa eksis di bisnis saham, dan kunci suksesnya adalah menerapkan dengan disiplin ketat trading plan yang sudah kita buat, baik pada saat membeli, menyimpan dan menjual saham.

Selamat berinvestasi......