Minggu, 22 Juli 2012

Kasus Penjualan Batubara PT Garda Tujuh Buana Tbk

PT Garda Tujuh Buana Tbk atau lebih dikenal dengan GTBO merupakan salah satu emiten yang bergerak di sektor batubara yang sebelumnya hanya dianggap biasa-biasa saja namun mulai  mengalami kenaikan harga yang terus merangsek naik mulai tanggal 31 Oktober 2011 sampai sekarang. GTBO mulai IPO pada tanggal 9 Juli 2009  dengan harga perdana sebesar Rp115 dan sekarang harga saham GTBO sudah mencapai Rp5.650 atau naik 4.813%. Dan kalau melihat grafik harga hampir tidak ada fluktuasi harga yang ekstrim namun justru menanjak terus secara smooth walaupun dengan PER yang lebih tinggi daripada PER industri sejenis. Beberapa analis mengatakan bahwa harga GTBO saat ini sudah sangat mahal, namun ternyata GTBO tidak memperdulikan apa kata analis, teteup aja harganya terus mencapai new high.

Fenomena GTBO ini memang menarik untuk diikuti. Kinerja keuangan GTBO memang baru menanjak mulai tahun 2011, dari yang sebelumnya equity negatif (defisit) karena akumuliasi rugi sebesar Rp21,52 milyar pada akhir tahun 2010 menjadi positip Rp52,34 milyar pada akhir tahun 2011. Hal tersebut ditunjang dengan pendapatan yang meningkat pesat pada tahun 2011 yang mencapai Rp319,70 milyar dibandingkan tahun 2010 yang hanya mencapai Rp25,64 milyar atau naik 1.146%. Suatu pencapaian yang fantastis.

Laporan Keuangan GTBO semester I tahun 2012 sekilas menampakkan hasil yang semakin fantastis yaitu dengan mencatat penjualan sebesar Rp1.148,05 milyar atau naik sebesar Rp1.112 milyar (2.988%) year on year. Dengan kenaikan penjualan sebesar itu Harga Pokok Penjualan (HPP) yang dikeluarkan HANYA sebesar Rp198,07 milyar atau 17% dari nilai penjualannya. Bandingkan dengan HPP PTBA yang mencapai 50,11% dari nilai penjualan, KKGI (59,10%), ADRO (64,17%), BRAU (66,07%). Sedemikian efisienkah GTBO sehingga mampu menekan biaya-biaya produksinya ????.............

Dalam laporan keuangan GTBO semester I 2012 disebutkan Penjualan dibagi menjadi Penjualan Batubara Lokal sebesar nihil, Penjualan Batubara Ekspor sebesars Rp436,90 milyar dan Penjualan Batubara Lain2 sebesar Rp711,15 milyar.  Yang perlu dicermati adalah penjualan batu bara-lain2 senilai Rp711,5 milyar. Apakah penjualan tsb sudah memenuhi syarat untuk diakui sbg pendapatan?

Setelah mempelajari penjelasan dalam catatan atas laporan keuangan ternyata memang penjualan batu bara tadi agak "menyimpang" dari model penjualan pada umumnya. Kenapa?...... krn  si pembeli batubara yang merupakan orang timur tengah (sebut saja Wan Abud karena tidak dijelaskan oleh GTBO) ternyata dia menggali sendiri tambang milik GTBO, bukan beli persediaan batu bara yg udah digali atau diproses oleh GTBO. Peralatan, proses penggalian, tenaga kerja, pengangkutan ke kapal, reklamasi dan kegiatan terkait penambangan menjadi tanggung jawab Wan Abud. Ini menjawab pertanyaan kenapa harga penjualannya amat sangat murah hanya USD25 dan HPPnya tidak besar krn GTBO tidak menanggung biaya2 tadi. Menurut saya ini adalah cara cerdas yg dilakukan oleh direksi GTBO utk mencari metode penjualan yg lain drpd yg lain. Cuma memang disclose di-LKnya yg kurang jelas. Saya saja sampai baca berkali-kali utk memahaminya. Skrg bagaimana dg pengakuan penjualannya? apakah udah bisa diakui sbg penjualan sesuai PSAK?

Penjualan batubara ke wan abud tadi oleh GTBO dicatat sebagai Penjualan batubara-Lain2 bukan dimasukkan sebagai penjualan ekspor atau penjualan lokal karena memang metode penjualannya berbeda dg penjualan biasa. Menurut PSAK pendapatan dr penjualan barang diakui jika (1).perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli (2).Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual. Balik ke kasus GTBO, krn persediaan yg dijual ke Wan Abud masih dalam bentuk area pertambangan yg akan digali sendiri oleh Wan Abud maka pengalihan risiko dan kepemilikan persediaan beralih dari GTBO ke Wan Abud saat area pertambangannya di serahkan/ditetapkan. Ini beda dengan cara penjualan pd umumnya yaitu beralih saat barangnya dimuat di truk atau pengangkut (misal jika syarat penjualan Free on Bord/FOB), Model penyerahan cara GTBO tadi udah diatur di kontrak antar keduanya ditambah kesepakatan pengalihan risiko beralih setelah ada penerimaan uang oleh penjual. Alasan ini nampaknya yang menjadi alasan GTBO memasukkan penjualan ke Wan Abud sbg “Penjualan” krn dianggap sudah memenuhi syarat pendaptan. Namuun..jika dicermati lebih jauh metode penjualan tadi lebih tepat disamakan dengan GTBO menyewakan tambangnya utk dikelola oleh Wan Abud dengan bisya sewa yg diukur spt jual batubara yaitu senilai USD25 per metrik ton.

Kenapa penjualan GTBO tadi seharusnya diakui sebagai pendapatan sewa karena dia tidak memenuhi prinsip matching cost agains revenue artinya untuk memperoleh suatu pendaptan hrs bisa diukur biaya yg dikeluarkan utk memperoleh pendaptan tadi yaitu biaya2 yg dikeluarkan utk menghasilkan produk batubara tadi. Dalam kasus tadi GTBO tidak mengeluarkan biaya utk memperoleh batubara krn biayanya dikeluarkan oleh Wan Abud..So menurut saya penjualan tadi harusnya diakui sebagai “PENDAPATAN LAIN-LAIN” yang letaknya di Laporan Rugi Laba berada di luar Penjualan.
Wan Abud sudah membayar uang muka kepada GTBO untuk "pembelian" batubara sebesar Rp711,15 milyar untuk jumlah 3 juta metrik ton yang akan ditambang sampai dengan 31 Desember 2014. Dengan pengakuan penerimaan uang muka dari Wan Abud tadi sebagai "Pendapatan Lain2-Sewa Tambang" maka jumlah yg diakui tidak boleh sebesar 100% tapi di split selama masa sewa 36 bulan yaitu sampai dengan 31 Desember 2014. Sewa per bulan Rp711.150.000.000 : 36 bulan = Rp19.754.166.666..jadi kalo yg dicantumin sebagai Pendapatan Lain2 di LK semester I (6 bulan) seharusnya hanya 6 x Rp19.754.166.666 = Rp118.524.999.996,00. Sedangkan sisa uang muka sebesar Rp711.150.000.000,00 - Rp118.524.999.996,00 = Rp592.625.000.000 dicatat sebagai uang muka di neraca. Kesimpulannya penjualannya GTBO kegedean...

Memang bentuk kerjasama antara GTBO dg wan abud tadi masih belum jelas apakah bentuknya kerjasama operasi (KSO), bagi hasil atau sewa masih blm terlalu jelas krn penjelasan di LKnya hanya spt itu, walaupun saya cenderung mengartikan kerjasamanya sbg bentuk sewa. Treatment akuntansinya akan berbeda jika modelnya KSO atau bagi hasil atau bentuk yg lain dan ini yg hrs diperjelas oleh manajemen jangan sampai investor salah mengambil keputusan.

Selain pencatatan penjualan yang tidak tepat, laporan keuangan GTBO semester I 2012 juga tidak mencantumkan pajak penghasilan. GTBO seharusnya sudah bisa menghitung walaupun masih berupa "Taksiran" dan tidak harus menunggu sampai akhir tahun untuk menghitung pajaknya. Laporan keuangan interim (LK triwulan atau LK Semester) bukanlah laporan yang dikecualikan dari penerapan akuntansi pajak penghasilan, oleh sebab itu penyajian laporan keuangan interim juga harus merujuk pada aturan penyajian laporan keuangan. Sehingga kalau ada emiten yg tdk mencantumkan perhitungan pajak penghasilan di LKnya maka dia udah melanggar standar akuntansi...kecuali saya gak mengetahui kalau ternyata ada aturan yg memperbolehkan ya..hehehe. Efek ketidakpatuhan penyajian ini sangat besar pengaruhnya ke pengguna laporan krn itung2annya jadi kacau semua (EPS, PER dan rasio2 keuangan lainnya)..

Kasus GTBO ini seharusnya menjadi peringatan buat otoritas bursa baik BAPEPAM maupun BEI sendiri untuk benar-benar memegang komitmen untuk menjaga kepentingan investor, jangan sampai investor dirugikan karena ketidakpedulian BAPEPAM atau BEI. Kita tunggu apakah ada perbaikan atau kembali adanya pembiaran tentang masalah ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar