Minggu, 07 Agustus 2011

Tetaplah ridho walaupun tangan menggenggam bara

Dering suara hape memecah kehenngan malam, ternyata telepon dari sahabat lamaku yang sudah kuanggap saudara karena kami sudah berteman dari kecil, sekolahpun kami satu sekolah hanya berbeda waktu kuliah. Setelah saya menikah dan pindah ke Jakarta, tali silaturahmi kami tidak pernah putus, hampir setiap hari kami selalu berkirim kabar, ngobrol dari masalah yang ringan dan yang lucu sampai masalah pribadi. Hape kuangkat dan dari seberang sana terdengan suara yang tidak seperti biasanya, dia yang biasa ceria dengan cerita yang mengundang gelak tawa kami berdua, kali ini terdengar lemas dan lirih nyaris tidak terdengar..."Mbak...aku di rumah sakit, aku keguguran...". Saya kaget karena baru beberapa minggu kemarin dia bercerita dengan gembiranya telah hamil setelah sekian tahun belum dikarunia anak. Doa dan berbagai upaya telah dia lakukan bersama suami untuk memperoleh momongan, cara medis dari dokter di Indonesia maupun di luar negeri serta pengobatan alternatif telah mereka coba. Doa dan usaha mereka baru dijawab oleh Allah SWT setelah hampir 11 tahun pernikahan mereka dengan kehamilan sahabat saya tersebut. Namun ternyata cobaan belum berhenti, dia belum diberi kesempatan untuk diberi titipan seorang buah hati pernikahan mereka .


Saya teringat dengan kisah di buku La Tahzan karya Dr.'Aidh al-Qarni yang menceritakan tentang seseorang kaya raya dari Bani 'Abs yang keluar rumah berhari-hari hanya untuk mencari untanya yang hilang. Dia tinggalkan anak, isteri dan kerabatnya di rumah mewah di lembah di tepian sungai daerah Bani 'Abs yang tidak pernah terpikirkan kalau bencana bisa datang kapanpun. Dan bencana itupun datang. Allah mengirimkan air bah yang menerjang bukit dan apapun yang dilewatinya termasuk rumah dan keluarganya. Semuanya habis tidak berbekas.


Setelah berhasil menemukan untanya dia kembali ke lembah tempat tinggalnya dan betapa terkejutnya karena tidak ada satupun yang pernah dimilikinya baik anak, isteri, keluarga maupun hartanya yang dia temukan, semuanya musnah. Sungguh suatu musibah yang menghancurkan. Tidak berhenti sampai disitu, unta yang berhasil dia temukan lepas begitu saja, dia kejar untanya namun justru dia ditendan dan mengenai matanya hingga buta. Dia berteriak kesakitan dan berharap ada orang yang menolongnya untuk membawanya ke tempat yang teduh. Setelah beberapa hari ada seorang pedagang yang kebetulan lewat dan menolongnya membawa kepada Khalifah di Damaskus. Orang inipun menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya. Khalifah itupun bertanya : "Lalu bagaimana sikapmu.....?". Jawab si Bapak : "Saya ridho kepada Allah..". Sebuah kalimat yang sangat agung.


Ridho atau ikhlas adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa menerimanya atau menjalaninya. Kita mungkin bisa dengan mudah melafalkannya karena keadaan yang membuat kita harus berkata ridho dalam arti hanya sekedar lisan yang terucap. Tetapi ridho yang benar-benar keluar dari hati sehingga mempengaruhi tindakan kita yang mendukung "rasa" ridho tersebut, bukanlah perkara yang mudah. Hanya dengan berlandaskan iman kita bisa menciptakan atau menimbulkan "rasa" ridho tadi. Iman bahwa semua kejadian atau peristiwa yang menimpa kita adalah kehendak Yang Maha Kuasa, iman bahwa semua yang kita jalani sudah diatur oleh Allah SWT, iman bahwa semua kejadian pasti ada hikmah yang tersembunyi.


Kita sering menyaksikan peristiwa bencana alam, musibah atau kecelakaan yang merenggut jiwa, harta maupun mengalami sendiri cobaan yang ringan sampai berat, namun ternyata masih banyak yang belum bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Dengan menimbulkan rasa ridho di hati kita yang benar-benar keluar dari lubuk hati, Insya Allah sepahit apapun semua cobaan maupun ujian yang kita hadapi bisa lebih ringan kita lalui.


Untuk sahabat dan saudaraku, semoga tetap tabah menjalani segala cobaan dan ujian hidup ini. Percayalah kesedihan itu tidak akan abadi seperti juga kesenangan tidak akan lestari.


Sumber Inspirasi : La Tahzan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar