Minggu, 24 Juli 2011

Pelajaran dari lapangan bola “kampung”


Jutaan masyarakat  Indonesia yang menyaksikan siaran pertandingan Timnas Indonesia melawan Turkmenistan dalam ajang PPD 2014 tadi malam pasti melihat suatu pertandingan mirip sepakbola tarkam atau bahkan pertandingan untuk memeringati 17 Agustusan di Kelurahan.....Bagaimana tidak..pertandingan sekelas Pra Piala Dunia  bisa berlangsung di lapangan yang sangat tidak memenuhi syarat, lapangan tidak rata, rumput yang banyakan gundulnya daripada yang tumbuh. Malah anak saya yang masih kelas IV bilang..lapangannya kayak orang panuan...hehehe..anak SD aja bisa bilang  seperti itu. Lha..ini sampai saya menghabiskan secangkir kopi di pagi ini, gak pernah ada berita tentang komplain kepada FIFA dari manajer Timnas atau Official Timnas atas kondisi lapangan yang mirip bekas dipakai buat pasar malam. Manajer atau official seharusnya bisa menolak untuk bertanding atau minta untuk pindah lapangan yang lebih manusiawi. 

Masyarakat Indonesia paham dengan kondisi yang mengiringi persiapan Timnas, mulai dari revolusi pengurus PSSI era Nurdin Halid, konggres PSSI yang gagal karena hujan interupsi sampai ke pemecatan Coach Alfred Riedl. Tapi begitu semuanya selesai dan perangkat Timnas yang baru sudah dibentuk mulai dari manajer, pelatih maupun pemain, walaupun dengan persiapan yang sangat minim, seharusnya masalah lapangan pertandingan tersebut tidak seharusnya lewat dari pengamatan official Timnas. Alhasil..Timnas tetap harus berjuang diatas lapangan yang sangat2 buruk . Tanpa mengecilkan perjuangan Timnas tadi malam seharusnya Indonesia bisa memperoleh hasil yang lebih maksimal jika semua pengurus PSSI  sadar akan tugas dan tanggung jawabnya.

Masalah lapangan pertandingan hanya merupakan bagian kecil dari masalah yang harus dihadapi oleh PSSI, masalah lain yang lebih besar masih menghadang pengurus PSSI mulai dari masalah kompetisi usia muda, model penyelesaian  Liga Primer Indonesia (LPI), masalah pendanaan terkait dilarangnya APBD untuk sepak bola sampai masalah kualitas perangkat pertandingan (mutu wasit, lapangan dsb). Tidak kalah pentingnya adalah masalah pertanggunjawaban penggunaan dana yang diperoleh oleh PSSI baik dana dari APBD, sponsor maupun sumber pendapatan lainnya. Harus ada transparansi  dan akuntabilitas  yang jelas karena menyangkut  perputaran uang yang sangat besar. Selama ini tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pengurus PSSI era Nurdin Halid maupun era sebelumnya.  Sudah saatnya PSSI dikelola secara profesional dan menjadi suatu industri jika  Indonesia ingin tampil dalam pentas dunia, sepak bola harus dijauhkan dari kepentingan politik atau menjadi kendaraan politik elit tertentu.

Timnas hanya Nasi telah menjadi bubur, kopi telah diminum dan buku telah ditutup, masih panjang langkah yang akan dihadapi oleh Timnas. Pengurus PSSI maupun pemerintah. Masih banyak yang harus dipersiapkan untuk memperbaiki   persepakbolaan di tanah air.

Bravo sepak bola.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar