Minggu, 31 Juli 2011

Keteladanan seorang lelaki rembulan

Pak Ida namanya, seperti nama seorang perempuan memang, tapi Pak Ida adalah laki-laki renta yang telah mengarungi pahit getirnya kehidupan di dunia ini selama lebih dari 75 tahun. Dia menjalani kehidupan yang keras ini dalam kesendirian karena dia hidup tanpa isteri maupun sanak saudara yang seharusnya mengelilingi dan menemaninya di usianya yang telah senja. Pak Ida memang tidak pernah menikah sampai umur merambati tubuhnya yang kian renta dimakan waktu. Orangnya kecil dengan guratan garis wajah yang menunjukkan lamanya waktu yang telah menemaninya. Sabar, ramah dan senang cerita terutama kepada anak-anak maupun orang yang ditemuinya. Pak Ida tinggal sebatang kara di rumah sederhana di kampung yang bersebelahan dengan komplek perumahan saya. Meminjam itilah dalam lyrik lagu Franky Sahilatua, lelaki dan rembulan, Pak Ida adalah seorang lelaki rembulan yang hanya diam seribu bahasa dalam memandang kesendiriannya. Dia tetap tegar menjalani hidup dengan kesederhanaannya, dia jalani kehidupannya dengan ikhlas.
Setiap pagi, dengan langkah perlahan karena kaki-kakinya sudah tidak sekuat dan seperkasa saat masih muda dulu, Pak Ida selalu melewati depan rumah sambil membawa alat musik gesek tradisional dan memainkan lagu-lagu sunda atau lagu daerah lainnya menuju ke “tempat kerjanya” di pasar dekat rumah. Dia memang tidak mempunyai pekerjaan tetap untuk  sekedar membeli makanan untuk mengganjal perut setiap hari, oleh karena itu dia “mengamen” atau lebih tepatnya melakukan “road show” dengan alat musiknya.  Pak Ida tidak pernah berhenti di depan rumah orang untuk mengharapkan si empunya rumah memberikan uang receh seperti pengamen “tradisional” pada umumnya.  Pak Ida justru melakukan “road show” kepiawaiannya memainkan alat gesek dengan berjalan di gang-gang perumahan tidak peduli apakah orang akan memberi uang atau tidak......Dia berjalan dan terus berjalan menuju ke “kantornya” sambil menikmati alunan musik yang dia mainkan sendiri dan hanya berhenti jika ada yang memanggilnya untuk diberi sekedar uang receh sebagai pengganti suara merdu alat musiknya yang telah dimainkannya atau berhenti di pos kamling untuk menghilangkan rasa capek. Dan begitu uang pengganti telah diterimanya, maka doa keselamatan, kesejahteraan dan kemudahan rizqi akan keluar dari mulutnya dipersembahkan kepada orang yang telah memberikan dia uang sekedarnya tadi.
Satu hal lagi yang membuat Pak Ida menjadi manusia yang “berbeda” dari orang lain adalah sikapnya yang masih mau memberikan uang hasil jerih payahnya kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Saya yakin tidak banyak orang yang sanggup untuk berbuat seperti yang Pak Ida lakukan....jangankan dalam kondisi tidak punya dan serba kekurangan, dengan kondisi yang bergelimpangan harta kekayaan dan serba berkecukupan-pun masih ada orang yang tidak rela untuk berbagi.
Tiga hari yang lalu saya mempunyai keinginan untuk berbincang-bincang dengan Pak Ida. Saya merencanakan akan mencegat Pak ida di hari Sabtu di depan rumah karena  saya ingin mengetahui lebih dalam mengenai sosok bapak tua satu ini. Namun rencana tinggallah rencana, sabtu pagi tadi bibi pembantu saya yang kebetulan tetangga Pak Ida menyampaikan berita kalau Pak Ida sudah pergi menghadap kepada Sang Khalik pada hari Jum’at kemarin......... Innalillahi Wainailaihi Rojiun.
Selamat jalan Pak Ida .................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar